Tahap-Tahap Pokok
Proses Perkembangan
Tahap
ini sekedar “tahap antara” dalam seluruh proses Indonesianisasi, Sebab, dengan
mandirinya Gereja Katolik saja pada tahun 1961, belum ada Gereja Katolik
Indonesia dalam arti kata yang sesungguhnya. Perkembengan Gereja mandiri itu
menjadi Gereja Indonesia lokal atau partikular, menurut maksud Konsili Vatikan
II, akan diuraikan bab-bab berikutnya.
Dalam
periode 1940-1961 kerangka acua gerejawi bergeser dari konteks Belanda menjadi
Gereja Indonesia. Dalam arti itu, periode ini kiranya dapat disebut periode
dekoloniasi gerejawi, tanpa mengisyaratkan seolah-olah misi Katolik merupakan
perkara kolonial. Sebab, sebagian tahap ini sejajar dengan proses kemandirian
Republik Indonesia sendiri dan tahap dekoloniasi sesudahnya. Oleh karena itu,
dalam bab ini akan diketengahkan faktor-faktor konstitutif untuk menyiapkan
kemandirian itu dan jelas ada keserupaan dengan proses umum kemandirian
Indonesia sendiri.
Untuk
menilai proses perkembangan tahun 1940-1961 sebagiamana layaknya, perlulah
menjadi akar-akar sebelum perang. Oleh karena itu, dua bagian berikut bab ini
akan kembali ke masa lampau. Yang pokok disitu adalah dua data yang penting.
Pertama, kenyataan bahwa misi Katolik sebelum perang didasarkan pada ideologi
supranasional, dan kedua, bahwa sebelum perang sudah ada basis Indonesia yang
memadai untuk dapat melanjutkan pembangunan selama Republik berlangsung.
Seandainya kedua data itu tidak ada, kiranya tidak dapat dibayangkan,
seolah-olah misi Katolik sesuai perang dapat diperlakukan sebagai produk yang
mentah dari zaman kolonial.
Visi Supranasional Misi
Katolik
Hampir
semua misionaris sebelum perang berasal dari Belanda dan berbangsa Belanda.
Sebab, pemerintah Hindia-Belanda tidak mengizinkan misionaris-misionaris dari kebangsaan
lain. Tetapi meskipun semua imam, bruder, dan suster itu berbangsa Belanda,
kenyataan itu sendiri tidak berarti bahwa seakan-akan mereka itu secara
otomatis merupakan perpanjangan politik kolonial Belanda. Justru sebaliknya,
banyaknya hambatan pejabat-pejabat setempat mengenai perluasan misi sudah
menunjukan hal itu.
Lebih
penting dalam kaitan itu ialah visi suprasional, tempat cangkokan misi.
Kerajaan Allah yang diwartakan tidak berasal dari Belanda, juga bukan perkara
kolonial. Ilustrasi bagi penyusunan supranasional misi Katolik ialah visi yang
diungkapkan dalam Surat Apostolik Maximum Illud Paus Benediktus XV, tanggal 30
November 1919. Tentang penyebaran iman Katolik di seluruh dunia. Naskah
gerejawi yang diterbitkan langsung sesudah Perang Dunia I itu banyak menentukan
suasana bagi penempatan para misionaris dalam periode sebelum Perang Dunia II.
Disini
ditampilkan beberapa kutipan dari ensiklik itu. Dalam kata pendahuluan, Paus
menggambarkan bagaimana tugas misi dari abad ke abad dilaksanakan oleh Gereja.
Dua bab berikutnya menyajikan “Berbagai pedoman pelaksanaan bagi mereka yang
memimpin misi” dan “berbagai pedoman pelaksanaan bagi para misionaris”.
-
Kepada para misionaris “biasa” di
lapangan, disampaikan bahwa mereka selalu “harus mengindahkan keluhuran tugas
mereka, dan jangan menganut nasionalisme palsu”. “Diresapi oleh sabda Tuhan,
yang diamankan kepada siapa saja diantara kamu: lupakanlah bangsamu dan rumah
ayahmu, hendaklah kamu ingat bahwa tugasmu ialah menyebarluaskan Kerajaan
Kristus, bukan kerajaan manusia, lagi pula memperoleh warga-warga negara bukan
bagi tanah air dunia, tetapi bagi tanah air surgawi. Pasti akan sangat
disesalkan seandainya beberapa misionaris sedemikian rupa melupakannya,
sehingga lebih memikirkan tanah air duniawi mereka, bahkan menampilkan semangat
yang tidak pantas, untuk memperbesar kekuasaan tanah air mereka, dan terutama
memperluas kemasyhurannya”.
-
“Andaikan saja ada misionaris yang untuk
maksud tertentu melayani rencana-rencana duniawi, ia membawakan diri tidak
sebagai rasul dalam segala hal. Tetapi hendak memajukan kepentingan-kepentingan
tanah airnya, seluruh karyanya langsung akan dicurigai oleh rakyat. Mudah saja
rakyat mengira bahwa Kristianitas itu agama nasional bangsa asing, seolah-olah memeluk Kristianitas sama
saja dengan menempatkan diri di bawah perlindungan kedaulatan bangsa asing, dan
megingkari tanah airnya sendiri”.
Berdasarkan
kutipan-kutipan itu, tampak jelas bagaimana Gereja yang resmi menyatakan
posisinya dalam perdebatan sekitar misi dan kolonisasi. Sering sekali para
misionaris menampilkan sikap-sikap menurut visi itu.
-Kepada
mereka yang memimpin misi, Paus menyampaikan pedoman-pedoman pelaksanaan
berikut: “Tugas utama pemimpin suatu misi seharusnya terus-menerus
menyebarluaskan dan mengembangkan sepenuhnya. Jadi, untuk menyampaikan pewartaan
Injil secara lebih pesat dan berhasi dengan lebih baik sehingga didengarkan
oleh siapa saja tanpa kecuali, akan berguna sekali mendirikan stasi-stasi misi
dan tempat-tempat misi yang baru, semuanya itu bagaikan sekian banyak inti bagi
vikariat-vikariat dengan prefektur-prefektur yang baru, lagi disitu pada
saatnya misi dapat dibagi-bagi. Betapa layak dikecam perilaku seorang pemimpin
misi yang memandang sebagian ladang Tuhan –termasuk ladang kerjanya- sebagai
milik pribadinya sendiri, lagi tidak dapat membiarkan jangan sampai sesamanya
ikut campur tangan. Sungguh benar, pemimpin suatu misi Katolik, bila
diperlukan, di mana-mana berusaha untuk menemukan pembantu-pembantu bagi
tugasnya yang kudus tanpa memandang kongregasinya atau kebangsaannya”.
-
“Masih suatu hal, yang hendaknya
merupakan pokok usaha-usaha yang utama bagi tiap pemimpin misi, ialah:
pembinaan dan organisasi klerus pribumi. Di situlah sumber utama bagi harapan
akan jemaat-jemaat baru. Sebab, imam pribumi, karena asal usulnya, karunia
rohaninya, pandangan serta kecenderungannya untuk berhubungan erta dengan
sesama warga rakyatnya, secara sungguh istimewa ialah pribadi yang cocok untuk
merasukkan iman di antara mereka”.
-
“Pembinaan para rohaniwan pribumi harus
merupakan pendidikan yang sungguh mantap. Hendaknya itu merupakan pembinaan
yang sempurna dan dalam segala aspeknya diatur dengan baik, pembinaan yang
sama, seperti lazimnya diterima oleh para imam di negeri-negeri yang beradab.
Sebab, misionaris asing, seraya menolong menjalankan pelayanan-pelayanan yang
lebih rendah, tetapi harus dimaksudkan agar suatu ketika sepenuhnya mampu
menjalankan pelayanan ini, membimbing umatnya sendiri sebagaimana mestinya.
Gereja Allah itu Katolik. Bagi rakyat atau bangsa manapun juga, Gereja tidak
asing”.
Terlepas
dari beberapa istilah seperti “rohaniwan pribumi”, yang harus menerima
pembinaan juga seperti imam-imam dari “negeri-negeri yang beradab”, teks-teks
itu harus dapat dipahami sebagai naskah-naskah Konsili Vatikan II. Tetapi,
sudah pada tahun 1919 visi supranasional itu ditetapkan. Dapat dianggap bahwa
teks-teks itu diketahui oleh semua misionaris, yang diutus sesudah tahun 1919.
Pendek kata: dalam perdebatan apakah misi Katolik itu produk kolonial, secara
tepat siapa saja boleh kembali pada pendirian asal kewibawaan yang tertinggi.
Berkaitan dengan itulah masalah pendirian misi Katolik berkenaan dengan
munculnya nasionalisme di Nusantara.
Perkembangan Umat
Katolik: Tahun 1940-1990
Mulai
tahun 1807 Gereja Katolik dibiarkan memasuki Hindia lagi. Umat Katolik
hampir-hampir hanya terhitung di kalangan Eropa: tentara, pejabat, dan
pedagang. Pada tahun 1850 jumlah mereka mencapai 5.670, tetapi di Flores Timur
(yang sejak tahun 1859 baru secara resmi boleh dianggap termasuk
Hindia-Belanda) pada tahun 1850 ada sekitar 3.000 Katolik pribumi. Jadi, jumlah
total umat Katolik diseluruh Nusantara pada tahun 1850 dapat diperkirakan 8.670
orang.
Peraturan-peraturan
kolonial mengakibatkan penyebaran umat Katolik yang tidak merata di
Hindia-Belanda zaman lampau. UUD RI 1945 menjamin kebebasan beragama dan dengan
demikian menghilangkan rintangan-rintangan di masa silam. Sejak itu, Gereja
Katolik dapat berkembang dengan leluasa.
Tabel
pertambahan Umat Katolik di Indonesia (Orang Indonesia dan Eropa) Tahun
1940-1990
Tahun
|
Orang Indonesia
|
Orang Eropa
|
Total
|
1940
|
478.130
|
88.172
|
566.302
|
1950
|
725.200
|
85.279
|
810.479
|
1960
|
1.297.732
|
5.000
|
1.302.732
|
1970
|
2.361.065
|
1.000
|
2.362.065
|
1980
|
3.415.106
|
-
|
3.415.106
|
1990
|
4.640.717
|
-
|
4.640.717
|
Beberapa
catatan mengenai Tabel :
-
Selama 50 tahun jumlah Katolik berlipat
sekitar delapan kali. Sepuluh kali lipat dari antara mereka adalah orang
Indonesia.
-
Padaa tahun 1940 jumlah umat Katolik
Eropa masih 16% dari keseluruhan. Antara tahun 1950 dan 1960 mereka praktis
berkurang, secara khusus karena nasionalisasi semua perusahaan.
-
Berdasarkan angka-angka tersebut,
gambaran yang dapat dimunculkan menurut pertambahan persentase umat Katolik
Indonesia di tiap dasawarsa adalah :
·
Dari tahun 1940 – 1950 : pertambahan
global 5,1% per tahun.
·
Dari tahun 1950 – 1960 : pertambahan
global 7,9% per tahun.
·
Dari tahun 1960 – 1970 : pertambahan
global 8,2% per tahun.
·
Dari tahun 1970 – 1980 : pertambahan
global 4,3% per tahun.
·
Dari tahun 1980 – 1990 : pertambahan
global 3,6% per tahun.
Sesudah
Perang Dunia II, umat Katolik bertambah secara umum dari 5,1% sampai 8,2% pada
tahun 1970. Sesudah itu, berkurang sampai 3,6% pada tahun 1990. Angka-angka pertumbuhan
itu (agak) lebih tinggi daripada angka pertumbuhan penduduk Indonesia secara
keseluruhan. Mengingat perbandingan antara kedua hasil sensus penduduk tahun
1971 dan 1980, angka pertumbuhan nasional dalam periode itu dihitung 2,34%
setiap tahun. Itu berarti, jumlah umat Katolik dalam periode itu bertambah
relatif lebih pesat daripada penduduk Indonesia secara keseluruhan.
Kalau
mengamati dan melihat periode lima dasawarsa terakhir, betapa besar umat
Katolik dalam keseluruhan penduduk Indonesia (menurut beberapa sensus penduduk
resmi pada tahun 1930 dan 1980). Hal ini memunculkan gambaran sebagai berikut :
Tabel
Persentase Jumlah Umat Katolik Seluruh Indonesia Tahun 1930 dan 1980
Tahun
|
Total Penduduk
|
Jumlah Umat Katolik
|
Persentase Umat Katolik
|
1930
|
60.731.025
|
300.027
|
0,5%
|
1980
|
147.331.823
|
4.355.57
|
53,0%
|
Pada
tahun 1930 jumlah umat Katolik hanya setengah persen dari jumlah seluruh
penduduk. Sesudah lima puluh tahun, yakni pada tahun 1980, angka itu menjadi
3,0%. Jadi, selama lima dasawarsa jumlah umat Katolik bertambah hanya 2,5% dari
seluruh penduduk Indonesia. Di sini perlu dicatat bahwa di samping angka-angka
ini termasuk penduduk tahun 1930 ikut diperhitungkan juga umat Katolik Eropa,
Cina, dan “luar negeri”. Berpedoman pada angka-angka itu, ada penolakan
terhadap kecaman kalangan-kalangan tertentu yang mengatakan bahwa seolah-olah
usaha kristenisasi yang begitu kuat di Indonesia mempunyai dasar yang memadai.
Perbandingan
angka-angka sensus penduduk resmi tahun 1971 dengan tahun 1980 menciptakan
gambaran yang serupa.
Tabel
perbandingan Penduduk Indonesia Menurut Agama, Tahun 1971 dan 1980
Agama
|
Sensus Penduduk 1971
|
Sensus Penduduk 1980
|
||
Islam
|
103.579.496
|
87,5%
|
128.462.176
|
87,2%
|
Katolik
|
2.692.215
|
2,3%
|
4.355.575
|
3,0%
|
Protestan
|
6.049.491
|
5,2%
|
8.505.696
|
5,8%
|
Hindu
|
2.296.292
|
1,9%
|
2.988.461
|
2,0%
|
Budhis
|
1.092.314
|
0,9%
|
1.391.991
|
0,9%
|
Animis
|
2.658.035
|
2,2%
|
1.672.924
|
1,1%
|
Total
|
118.367.850
|
100%
|
147.331.823
|
100%
|
Jumlah
umat Muslim antara tahun 1971 dan 1980 bertambah 25 juta, jumlah umat Katolik
bertambah 1,6 juta, jumlah umat Protestan bertambah 2,5 juta. Melihat
perbandingan itu, umat Muslim berkurang 0,3%, umat Katolik bertambah 0,7%, dan
umat protestan bertambah 0,6%. Berdasarkan data-data itu, tidak kelihatan
adanya kristenisasi besar-besaran oleh umat Protestan maupun umat Katolik.
Faktor-Faktor
Pertumbuhan Umat Katolik
1. Faktor-faktor
pertambahan
v Baptisan
: penerimaan anggota-anggota baru ke dalam persekutuan Gereja, baik anak-anak
maupun orang dewasa.
v Alih
terima : orang-orang Kristen dari jemaat-jemaat gerejawi lain yang sudah dibaptis
dapat dialih terima tanpa dibaptis lagi kalau bermaksud menjadi Katolik.
v Imigrasi
dari lain tempat : orang-orang Katolik berpindah dan melaporkan diri di paroki
mereka yang baru. Ditinjau dari sudut nasional, proses itu berlangsung di
Indonesia dan tidak terlalu berperan. Tetapi, di tingkat regional, hal semacam
itu ada kalanya penting sekali, di keuskupan-keuskupan tertentu, seperti
Jakarta dan Bogor, faktor-faktor itu memainkan peranan yang besar.
2. Faktor-faktor
pengurangan
v Kematian
: tingginya angka kematian anak-anak
perlu diperhitungkan di negeri yang sedang berkembang (sekaligus di pedalaman)
v Pindah
agama : sukar sekali melacak orang Katolik yang entah karena alasan apa tidak
bermaksud untuk tetap menjadi Katolik, atau dengan sengaja berpindah keagama
lain, yang sering sekali karena pernikahan.
v Emigrasi
: perpindahan dari tempat tertentu dan mulai tinggal di paroki atau keuskupan
lain.
SUMBER :
Dr. Huub. J.W.M. Boelaars, OFM Cap, “Indonesianisasi”, Yogyakarta : Kanisius, 2009, hlm.104 – 107 , 190
– 193 dan 202