- See more at: http://www.komputerseo.com/2010/12/cara-memasang-gambar-animasi-lucu-di.html#sthash.hwmsMrI0.dpuf

Kamis, 24 Desember 2015

Tahap-Tahap Pokok Proses Perkembangan Agama Katolik



Tahap-Tahap Pokok Proses Perkembangan
Tahap ini sekedar “tahap antara” dalam seluruh proses Indonesianisasi, Sebab, dengan mandirinya Gereja Katolik saja pada tahun 1961, belum ada Gereja Katolik Indonesia dalam arti kata yang sesungguhnya. Perkembengan Gereja mandiri itu menjadi Gereja Indonesia lokal atau partikular, menurut maksud Konsili Vatikan II, akan diuraikan bab-bab berikutnya.
Dalam periode 1940-1961 kerangka acua gerejawi bergeser dari konteks Belanda menjadi Gereja Indonesia. Dalam arti itu, periode ini kiranya dapat disebut periode dekoloniasi gerejawi, tanpa mengisyaratkan seolah-olah misi Katolik merupakan perkara kolonial. Sebab, sebagian tahap ini sejajar dengan proses kemandirian Republik Indonesia sendiri dan tahap dekoloniasi sesudahnya. Oleh karena itu, dalam bab ini akan diketengahkan faktor-faktor konstitutif untuk menyiapkan kemandirian itu dan jelas ada keserupaan dengan proses umum kemandirian Indonesia sendiri.
Untuk menilai proses perkembangan tahun 1940-1961 sebagiamana layaknya, perlulah menjadi akar-akar sebelum perang. Oleh karena itu, dua bagian berikut bab ini akan kembali ke masa lampau. Yang pokok disitu adalah dua data yang penting. Pertama, kenyataan bahwa misi Katolik sebelum perang didasarkan pada ideologi supranasional, dan kedua, bahwa sebelum perang sudah ada basis Indonesia yang memadai untuk dapat melanjutkan pembangunan selama Republik berlangsung. Seandainya kedua data itu tidak ada, kiranya tidak dapat dibayangkan, seolah-olah misi Katolik sesuai perang dapat diperlakukan sebagai produk yang mentah  dari zaman kolonial.

Visi Supranasional Misi Katolik
Hampir semua misionaris sebelum perang berasal dari Belanda dan berbangsa Belanda. Sebab, pemerintah Hindia-Belanda tidak mengizinkan misionaris-misionaris dari kebangsaan lain. Tetapi meskipun semua imam, bruder, dan suster itu berbangsa Belanda, kenyataan itu sendiri tidak berarti bahwa seakan-akan mereka itu secara otomatis merupakan perpanjangan politik kolonial Belanda. Justru sebaliknya, banyaknya hambatan pejabat-pejabat setempat mengenai perluasan misi sudah menunjukan hal itu.
Lebih penting dalam kaitan itu ialah visi suprasional, tempat cangkokan misi. Kerajaan Allah yang diwartakan tidak berasal dari Belanda, juga bukan perkara kolonial. Ilustrasi bagi penyusunan supranasional misi Katolik ialah visi yang diungkapkan dalam Surat Apostolik Maximum Illud Paus Benediktus XV, tanggal 30 November 1919. Tentang penyebaran iman Katolik di seluruh dunia. Naskah gerejawi yang diterbitkan langsung sesudah Perang Dunia I itu banyak menentukan suasana bagi penempatan para misionaris dalam periode sebelum Perang Dunia II.
Disini ditampilkan beberapa kutipan dari ensiklik itu. Dalam kata pendahuluan, Paus menggambarkan bagaimana tugas misi dari abad ke abad dilaksanakan oleh Gereja. Dua bab berikutnya menyajikan “Berbagai pedoman pelaksanaan bagi mereka yang memimpin misi” dan “berbagai pedoman pelaksanaan bagi para misionaris”.
-          Kepada para misionaris “biasa” di lapangan, disampaikan bahwa mereka selalu “harus mengindahkan keluhuran tugas mereka, dan jangan menganut nasionalisme palsu”. “Diresapi oleh sabda Tuhan, yang diamankan kepada siapa saja diantara kamu: lupakanlah bangsamu dan rumah ayahmu, hendaklah kamu ingat bahwa tugasmu ialah menyebarluaskan Kerajaan Kristus, bukan kerajaan manusia, lagi pula memperoleh warga-warga negara bukan bagi tanah air dunia, tetapi bagi tanah air surgawi. Pasti akan sangat disesalkan seandainya beberapa misionaris sedemikian rupa melupakannya, sehingga lebih memikirkan tanah air duniawi mereka, bahkan menampilkan semangat yang tidak pantas, untuk memperbesar kekuasaan tanah air mereka, dan terutama memperluas kemasyhurannya”.
-          “Andaikan saja ada misionaris yang untuk maksud tertentu melayani rencana-rencana duniawi, ia membawakan diri tidak sebagai rasul dalam segala hal. Tetapi hendak memajukan kepentingan-kepentingan tanah airnya, seluruh karyanya langsung akan dicurigai oleh rakyat. Mudah saja rakyat mengira bahwa Kristianitas itu agama nasional bangsa  asing, seolah-olah memeluk Kristianitas sama saja dengan menempatkan diri di bawah perlindungan kedaulatan bangsa asing, dan megingkari tanah airnya sendiri”.
Berdasarkan kutipan-kutipan itu, tampak jelas bagaimana Gereja yang resmi menyatakan posisinya dalam perdebatan sekitar misi dan kolonisasi. Sering sekali para misionaris menampilkan sikap-sikap menurut visi itu.
-Kepada mereka yang memimpin misi, Paus menyampaikan pedoman-pedoman pelaksanaan berikut: “Tugas utama pemimpin suatu misi seharusnya terus-menerus menyebarluaskan dan mengembangkan sepenuhnya. Jadi, untuk menyampaikan pewartaan Injil secara lebih pesat dan berhasi dengan lebih baik sehingga didengarkan oleh siapa saja tanpa kecuali, akan berguna sekali mendirikan stasi-stasi misi dan tempat-tempat misi yang baru, semuanya itu bagaikan sekian banyak inti bagi vikariat-vikariat dengan prefektur-prefektur yang baru, lagi disitu pada saatnya misi dapat dibagi-bagi. Betapa layak dikecam perilaku seorang pemimpin misi yang memandang sebagian ladang Tuhan –termasuk ladang kerjanya- sebagai milik pribadinya sendiri, lagi tidak dapat membiarkan jangan sampai sesamanya ikut campur tangan. Sungguh benar, pemimpin suatu misi Katolik, bila diperlukan, di mana-mana berusaha untuk menemukan pembantu-pembantu bagi tugasnya yang kudus tanpa memandang kongregasinya atau kebangsaannya”.
-          “Masih suatu hal, yang hendaknya merupakan pokok usaha-usaha yang utama bagi tiap pemimpin misi, ialah: pembinaan dan organisasi klerus pribumi. Di situlah sumber utama bagi harapan akan jemaat-jemaat baru. Sebab, imam pribumi, karena asal usulnya, karunia rohaninya, pandangan serta kecenderungannya untuk berhubungan erta dengan sesama warga rakyatnya, secara sungguh istimewa ialah pribadi yang cocok untuk merasukkan iman di antara mereka”.
-          “Pembinaan para rohaniwan pribumi harus merupakan pendidikan yang sungguh mantap. Hendaknya itu merupakan pembinaan yang sempurna dan dalam segala aspeknya diatur dengan baik, pembinaan yang sama, seperti lazimnya diterima oleh para imam di negeri-negeri yang beradab. Sebab, misionaris asing, seraya menolong menjalankan pelayanan-pelayanan yang lebih rendah, tetapi harus dimaksudkan agar suatu ketika sepenuhnya mampu menjalankan pelayanan ini, membimbing umatnya sendiri sebagaimana mestinya. Gereja Allah itu Katolik. Bagi rakyat atau bangsa manapun juga, Gereja tidak asing”.
Terlepas dari beberapa istilah seperti “rohaniwan pribumi”, yang harus menerima pembinaan juga seperti imam-imam dari “negeri-negeri yang beradab”, teks-teks itu harus dapat dipahami sebagai naskah-naskah Konsili Vatikan II. Tetapi, sudah pada tahun 1919 visi supranasional itu ditetapkan. Dapat dianggap bahwa teks-teks itu diketahui oleh semua misionaris, yang diutus sesudah tahun 1919. Pendek kata: dalam perdebatan apakah misi Katolik itu produk kolonial, secara tepat siapa saja boleh kembali pada pendirian asal kewibawaan yang tertinggi. Berkaitan dengan itulah masalah pendirian misi Katolik berkenaan dengan munculnya nasionalisme di Nusantara.

Perkembangan Umat Katolik: Tahun 1940-1990
Mulai tahun 1807 Gereja Katolik dibiarkan memasuki Hindia lagi. Umat Katolik hampir-hampir hanya terhitung di kalangan Eropa: tentara, pejabat, dan pedagang. Pada tahun 1850 jumlah mereka mencapai 5.670, tetapi di Flores Timur (yang sejak tahun 1859 baru secara resmi boleh dianggap termasuk Hindia-Belanda) pada tahun 1850 ada sekitar 3.000 Katolik pribumi. Jadi, jumlah total umat Katolik diseluruh Nusantara pada tahun 1850 dapat diperkirakan 8.670 orang.
Peraturan-peraturan kolonial mengakibatkan penyebaran umat Katolik yang tidak merata di Hindia-Belanda zaman lampau. UUD RI 1945 menjamin kebebasan beragama dan dengan demikian menghilangkan rintangan-rintangan di masa silam. Sejak itu, Gereja Katolik dapat berkembang dengan leluasa.
Tabel pertambahan Umat Katolik di Indonesia (Orang Indonesia dan Eropa) Tahun 1940-1990
Tahun
Orang Indonesia
Orang Eropa
Total
1940
478.130
88.172
566.302
1950
725.200
85.279
810.479
1960
1.297.732
5.000
1.302.732
1970
2.361.065
1.000
2.362.065
1980
3.415.106
-
3.415.106
1990
4.640.717
-
4.640.717

Beberapa catatan mengenai Tabel :
-          Selama 50 tahun jumlah Katolik berlipat sekitar delapan kali. Sepuluh kali lipat dari antara mereka adalah orang Indonesia.
-          Padaa tahun 1940 jumlah umat Katolik Eropa masih 16% dari keseluruhan. Antara tahun 1950 dan 1960 mereka praktis berkurang, secara khusus karena nasionalisasi semua perusahaan.

-          Berdasarkan angka-angka tersebut, gambaran yang dapat dimunculkan menurut pertambahan persentase umat Katolik Indonesia di tiap dasawarsa adalah :
·         Dari tahun 1940 – 1950 : pertambahan global 5,1% per tahun.
·         Dari tahun 1950 – 1960 : pertambahan global 7,9% per tahun.
·         Dari tahun 1960 – 1970 : pertambahan global 8,2% per tahun.
·         Dari tahun 1970 – 1980 : pertambahan global 4,3% per tahun.
·         Dari tahun 1980 – 1990 : pertambahan global 3,6% per tahun.
Sesudah Perang Dunia II, umat Katolik bertambah secara umum dari 5,1% sampai 8,2% pada tahun 1970. Sesudah itu, berkurang sampai 3,6% pada tahun 1990. Angka-angka pertumbuhan itu (agak) lebih tinggi daripada angka pertumbuhan penduduk Indonesia secara keseluruhan. Mengingat perbandingan antara kedua hasil sensus penduduk tahun 1971 dan 1980, angka pertumbuhan nasional dalam periode itu dihitung 2,34% setiap tahun. Itu berarti, jumlah umat Katolik dalam periode itu bertambah relatif lebih pesat daripada penduduk Indonesia secara keseluruhan.
Kalau mengamati dan melihat periode lima dasawarsa terakhir, betapa besar umat Katolik dalam keseluruhan penduduk Indonesia (menurut beberapa sensus penduduk resmi pada tahun 1930 dan 1980). Hal ini memunculkan gambaran sebagai berikut :
Tabel Persentase Jumlah Umat Katolik Seluruh Indonesia Tahun 1930 dan 1980
Tahun
Total Penduduk
Jumlah Umat Katolik
Persentase Umat Katolik
1930
60.731.025
300.027
0,5%
1980
147.331.823
4.355.57
53,0%

Pada tahun 1930 jumlah umat Katolik hanya setengah persen dari jumlah seluruh penduduk. Sesudah lima puluh tahun, yakni pada tahun 1980, angka itu menjadi 3,0%. Jadi, selama lima dasawarsa jumlah umat Katolik bertambah hanya 2,5% dari seluruh penduduk Indonesia. Di sini perlu dicatat bahwa di samping angka-angka ini termasuk penduduk tahun 1930 ikut diperhitungkan juga umat Katolik Eropa, Cina, dan “luar negeri”. Berpedoman pada angka-angka itu, ada penolakan terhadap kecaman kalangan-kalangan tertentu yang mengatakan bahwa seolah-olah usaha kristenisasi yang begitu kuat di Indonesia mempunyai dasar yang memadai.
Perbandingan angka-angka sensus penduduk resmi tahun 1971 dengan tahun 1980 menciptakan gambaran yang serupa.
Tabel perbandingan Penduduk Indonesia Menurut Agama, Tahun 1971 dan 1980
Agama
Sensus Penduduk 1971
Sensus Penduduk 1980
Islam
103.579.496
87,5%
128.462.176
87,2%
Katolik
2.692.215
2,3%
4.355.575
3,0%
Protestan
6.049.491
5,2%
8.505.696
5,8%
Hindu
2.296.292
1,9%
2.988.461
2,0%
Budhis
1.092.314
0,9%
1.391.991
0,9%
Animis
2.658.035
2,2%
1.672.924
1,1%
Total
118.367.850
100%
147.331.823
100%

Jumlah umat Muslim antara tahun 1971 dan 1980 bertambah 25 juta, jumlah umat Katolik bertambah 1,6 juta, jumlah umat Protestan bertambah 2,5 juta. Melihat perbandingan itu, umat Muslim berkurang 0,3%, umat Katolik bertambah 0,7%, dan umat protestan bertambah 0,6%. Berdasarkan data-data itu, tidak kelihatan adanya kristenisasi besar-besaran oleh umat Protestan maupun umat Katolik.

Faktor-Faktor Pertumbuhan Umat Katolik
1.      Faktor-faktor pertambahan
v Baptisan : penerimaan anggota-anggota baru ke dalam persekutuan Gereja, baik anak-anak maupun orang dewasa.
v Alih terima : orang-orang Kristen dari jemaat-jemaat gerejawi lain yang sudah dibaptis dapat dialih terima tanpa dibaptis lagi kalau bermaksud menjadi Katolik.
v Imigrasi dari lain tempat : orang-orang Katolik berpindah dan melaporkan diri di paroki mereka yang baru. Ditinjau dari sudut nasional, proses itu berlangsung di Indonesia dan tidak terlalu berperan. Tetapi, di tingkat regional, hal semacam itu ada kalanya penting sekali, di keuskupan-keuskupan tertentu, seperti Jakarta dan Bogor, faktor-faktor itu memainkan peranan yang besar.
2.      Faktor-faktor pengurangan
v  Kematian :  tingginya angka kematian anak-anak perlu diperhitungkan di negeri yang sedang berkembang (sekaligus di pedalaman)
v  Pindah agama : sukar sekali melacak orang Katolik yang entah karena alasan apa tidak bermaksud untuk tetap menjadi Katolik, atau dengan sengaja berpindah keagama lain, yang sering sekali karena pernikahan.
v  Emigrasi : perpindahan dari tempat tertentu dan mulai tinggal di paroki atau keuskupan lain.

SUMBER :
Dr. Huub. J.W.M. Boelaars, OFM Cap, “Indonesianisasi”, Yogyakarta : Kanisius, 2009, hlm.104 – 107 , 190 – 193 dan 202